Beranda | Artikel
Menyoal Konsekuensi Penerjemahan Istiwa` (Bag.5)
Rabu, 19 Desember 2018

Baca pembahasan sebelumnya Menyoal Konsekuensi Penerjemahan Istiwa` (Bag.4)

  1. Konsekwensi jika “استوى على العرش ” diterjemahkan dengan “bersemayam di atas ‘Arsy”

Setelah kita mengetahui makna bahasa lafazh istawa ‘ala (اِسْتَوَى عَلَى) dalam bahasa sumber (bahasa Arab), maupun makna “semayam” dalam bahasa sasaran (bahasa Indonesia), maka dapat dipahami bahwa jika dipaksakan lafazh istawa ‘ala (اِسْتَوَى عَلَى) diterjemahkan dengan “bersemayam di atas”, maka terjemah Surat Thaahaa : 5 (demikian pula ayat yang semisalnya) :

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

adalah salah satu dari terjemahan berikut ini :

  1. Yang Maha Pengasih duduk di atas ‘Arsy (singgasana).
  2. Yang Maha Pengasih tinggal di atas ‘Arsy (singgasana).
  3. Yang Maha Pengasih tersimpan di atas ‘Arsy (singgasana).
  4. Yang Maha Pengasih menginap di atas ‘Arsy (singgasana).
  5. Yang Maha Pengasih berbaring di atas ‘Arsy (singgasana).

Dan kelima makna tersebut tidak sesuai dengan makna lafazh istawa ‘ala (اِسْتَوَى عَلَى), baik menurut tafsir ulama Salafush Shaleh yang masyhur, maupun secara makna etimologi dalam bahasa Arab.

Baca Juga: Apakah Anda Sudah Mengenal Allah?

Seorang Muslim adalah sosok yang berhati-hati berbicara tentang Allah Ta’ala

Tentulah seorang Muslim yang bijak tidaklah berani berbicara tentang Allah ‘Azza wa Jalla, tanpa ilmu, karena :

  1. Allah Ta’ala telah memperingatkan :

    قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

    Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) kalian mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) berbicara tentang Allah apa yang tidak kalian ketahui”. (QS. Al-A’raf:33)

  1. Sesuai dengan kaidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa penetapan nama dan sifat Allah adalah ”Tauqifiyyah”, harus ada dasar dalilnya!Oleh karena itu dalam definisi Tauhidul Asma` wash Shifat disebutkan :

    توحيد الأسماء والصفات هو:

    إفراد الله بأسمائه الحسنى وصفاته العلى الواردة في القرآن والسنة،

    والإيمان بمعانيها وأحكامها

    “Tauhid Nama dan Sifat adalah mengesakan Allah dalam nama-nama-Nya yang terindah dan sifat-sifat-Nya yang termulia,yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah,dan beriman terhadap makna-makna dan hukum-hukumnya”

Baca Juga: Kafir Quraisy Juga Mengenal Allah dan Rajin Ibadah

Dari petikan definisi di atas:

الواردة في القرآن والسنة (yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah),diambil kesimpulan :

Sumber penetapan nama dan sifat Allah adalah “Tauqifiyyah”,yaitu ada dasar dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah,maka tidak boleh kita menamai Allah dan mensifati-Nya dengan nama dan sifat yang tidak terdapat dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Maksudnya :

  1. Jika ada peniadaan (nafy) sifat aib dan kurang sempurna dari diri Allah dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah,kitapun ikut meniadakannya (menolaknya).
  2. Jika ada penetapan (itsbat) kesempurnaan/sifat mulia bagi Allah, dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah,kitapun ikut menetapkannya.

 

  • Jika tidak ada dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah nafy dan itsbat, kitapun tidak menetapkan dan tidak pula meniadakannya,kecuali jika mengandung makna aib/kekurangan bagi Allah, maka wajib langsung ditolak.

 

Sebagai contoh :

Karena dalam dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah tidak terdapat peniadaan “Allah mendengar dengan dua telinga” dan tidak pula ada penetapan “Allah mendengar dengan dua telinga”,maka tidak boleh kita katakan :”Allah mendengar dengan dua telinga” dan tidak boleh pula kita katakan : “Allah mendengar tanpa dua telinga”.

Itulah prinsip “Tauqifiyyah”. (Baca : Apakah Allah mendengar dengan dua telinga?, di www.kajiantauhid.com)

Baca Juga: Pentingnya Mengenal Sifat Fisik Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam

  1. Kesimpulan

Ustadz Anas Burhanuddin, Lc,MA,beliau mengatakan:

Penerjemahan kata istawa (اِسْتَوَى) dengan “bersemayam” perlu di tinjau ulang, karena dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa bersemayam berarti duduk, tinggal, berkediaman. Padahal arti istawa bukanlah ini, sebagaimana telah dijelaskan.

Dan berdasarkan pemaparan di atas, maka terjemahan yang tepat dari kalimat istawa ‘ala

(اِسْتَوَى عَلَى) adalah tinggi di atas” atau cukup diterjemahkan “di atas”.

Dari pemaparan di atas, kita ambil kesimpulan bahwa terjemahan ayat Al-Qur`an berikut ini :

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

adalah :

“Yang Maha Pengasih di atas ‘Arsy (singgasana).”

(Surat Thaahaa : 5). Demikian pula terjemahan ayat-ayat yang semisalnya, maka semisal itu pula.

Wallahu a’lam walhamdulillahi Rabbil ‘alamin Semoga bermanfa’at luas.

Baca Juga:

Penulis : Ustadz Sa’id Abu Ukasyah
Artikel. Muslim.or.id

🔍 Gaul Menurut Islam, Syarat Dan Rukun Jual Beli Dalam Islam, Dahsyatnya Siksa Neraka, Wirid Setelah Sholat Fardhu Berjamaah, Itikaf Saat Corona


Artikel asli: https://muslim.or.id/44071-menyoal-konsekuensi-penerjemahan-istiwa-bag-5.html